MENCURI JURUS PENCAK SILAT
Oleh : Raden Alex
Oleh : Raden Alex
Rupanya dia adalah Raden Lukman kakak tertua seperguruan kami yang
telah lama sekali hijrah ke Borneo dan mendirikan cabang perguruan
pencak silat sama seperti yang kami ikuti yaitu “Hati Sejati “. Eyang
Surodipo menyudahi latihan kami malam itu,
Eyang bertanya padanya “apa yang terjadi”, jawab R. Lukman dengan suara yang terputus – putus “ perguruan kami diserang oleh perguruan Ekor Monyet”, setelah mengucapkan kalimat itu R. Lukman pingsan tak sadarkan diri. Kami membopong tubuh R. Lukman ke dalam rumah padepokan Eyang Surodipo untuk mendapat perawatan dari guru kami.
Tiga hari berlau dan luka – luka R. Lukman sudah kembali pulih seperti semula , memang Eyang Surodipo tidak hanya terkenal jago beladiri tapi beliau juga mahir dalam ilmu pengobatan tradisional, saat sudah sembuh dan di hadapan kami R.Lukman mulai bercerita kepada Eyang Surodipo “sebelumnya maafkan saya Eyang, sejak lima belas tahun silam saya meninggalkan perguruan ini merantau ke Pulau Borneo dan saya mengembangkan ilmu dari Eyang dengan mendirikan perguruan Hati Sejati di sana, dan Alhamdulillah sampai saat ini sudah ratusan murid yang telah lulus sampai tingkat terakhir, tapi entah mengapa dalam lima tahun terakhir ini perguruan Hati Sejati terlibat permusuhan dengan perguruan pencak silat Ekor Monyet, alasan mereka memusuhi perguruan kita adalah saya dituduh mencuri gerakan jurus – jurus mereka, padahal selama ini saya tidak pernah menambah atau mengurangi jurus – jurus beladiri yang Eyang ajarkan pada saya, begitupun murid – murid saya Eyang, mereka tidak akan mungkin menambah atau mengurangi gerakan jurus-jurus yang ku ajarkan.
Murid – muridku menyangka bahwa Perguruan ekor monyetlah yang telah mencuri gerakan jurus – jurus kami, akhirnya dua perguruan ini saling serang, saling hantam dan saling dendam. Sudah puluhan korban yang mati dari kedua perguruan akibat dendam kesumat yang berkepanjangan ini”.
“Siapa nama ketua perguruan Ekor Monyet ?” sahut Eyang Surodipo “Mbah Satrio” jawab R. Lukman. “Baiklah sekarang antarkan aku ke Borneo dan pertemukan aku dengan Mbah Satrio itu ” pinta Eyang Surodipo “baik Eyang besok kita berangkat” ajak R. Lukman, dan sayapun di ikut sertakan dalam perjalanan ini.
Singkat ceritanya sampailah kami di Pulau Borneo dan bertandang ke Padepokan Ekor Monyet, tapi baru beberapa langkah kami memasuki pelataran padepokan tiba – tiba delapan pendekar dengan tubuh kekar berotot dan berwajah garang menghentikan langkah kami “ kalian dari perguruan Hati Sejati, bukan? mau apa kalian datang kemari ?” “kami ingin bertemu Mbah Satrio” jawab Eyang Surodipo dengan tenang, “jangan mimpi kalian, langkahi dulu mayat kami” tiba – tiba saja salah satu pendekar Ekor Monyet mulai menyerang dengan jurus – jurus beladiri yang lincah dan gesit, sementara itu Eyang Surodipo hanya menghindar dan menangkis serangannya tanpa membalas pukulannya “sabar anak muda, kami kesini dengan tujuan baik, kami hanya ingin bertemu dengan guru kalian” kata Eyang Surodipo.
“aah… jangan banyak alasan, kami tahu tujuan kalian kesini hanya ingin balas dendam pada kami, bukan? Ayo kawan – kawan serang mereka…!”. Pertarungan hebatpun tak terelakkan.
“kamu disini saja menjaga Lukman yang baru saja sembuh dari luka dalam, biar aku yang menghadapi mereka” kata Eyang Surodipo kepadaku.
Perkelahian sengit yang diwarnai rangkaian jurus – jurus yang mematikan terjadi di halaman padepokan ekor monyet, Eyang Surodipo dikeroyok oleh delapan pendekar muda, meskipun Eyang Surodipo sudah tua namun gerakan beladirinya masih lincah dan sangat luar biasa, dalam hitungan beberapa menit saja kedelapan pendekar itu jatuh terjengkang.
Mendengar kegaduhan di halaman, Mbah Satrio-pun keluar dari padepokannya.
Mbah Satrio beberapa kali salto atau jungkir balik di udara dan mendarat tepat di hadapan Eyang Surodipo, “siapa kalian dan kenapa kalian bikin onar di padepokanku?” kata Mbah Satrio dengan suaranya yang lantang.
“Satrio…Satrio..! kamu lupa sama aku, aku adalah Suro” kata Eyang Surodipo memulai pembicaraannya, “Suuro..!” Mbah Satrio coba mengingat wajah tua itu “iya… Surodipo saudara seperguruanmu dulu ketika berguru sama Empu Raga Sukma”.
“ooo iya…iya… iya… aku ingat, tentu saja aku ingat, Cuma aku tadi tidak menyangka kalau itu kamu Suro, karena wajahmu sudah banyak berubah, sekarang kau tampak lebih tua dengan gigi ompong dan rambut yang memutih serta kulit yang sudah keriput, terus terang aku sulit mengenalimu saudaraku, selamat datang di padepokanku ” jawab Mbah Satrio.
Murid – muridku ini sahabat lamaku Surodipo ayo cium tangan kalian sama dia “Lanjut Mbah Satrio”.
“sama aku juga tadinya tidak mengira kalau orang tua yang berdiri dihadapanku ini adalah orang yang pernah menjadi saudara seperguruanku dulu, untungnya aku masih mengenalimu dari kalung giok naga pemberian Empu Raga Sukma yang masih kau kenakan itu” kata Eyang Surodipo.
“tujuanku kesini adalah ingin meluruskan kesalah pahaman yang selama ini terjadi antara perguruan Ekor Monyet milikmu dengan perguruanku Hati Sejati, dan hal seperti ini mungkin suatu saat bisa juga terjadi dengan perguruan – perguruan pencak silat yang lain”, kata Eyang Surodipo “ untuk itu besok aku ingin menjelaskan semua kasalah pahaman ini dihadapan murid – muridmu dan murid – muridku” Eyang Surodipo melanjutkan perkataannya.
“Baiklah kalau begitu aku setuju saudaraku” sahut Mbah Satrio.
Keesokan harinya kedua pihak perguruan sudah berkumpul di sebuah lapangan luas di samping padepokan Ekor Monyet dan Eyang Surodipo mulai menjelaskan duduk perkaranya.
“aku (Eyang Surodipo) dan Mbah Satrio adalah saudara seperguruan, kami pernah berguru pada guru pencak silat yang sama yaitu Empu Raga Sukma, dan kami memiliki jurus – jurus yang sama pula dan bukan hanya Mbah Satrio saja saudara seperguruanku, aku punya beberapa saudara seperguruan yang saat ini juga mendirikan perguruan beladiri, diantaranya Eyang Kumbang pendiri perguruan Macan Lapar, Mbah Bejo pendiri perguruan Gajah Terbang dan masih banyak lagi yang lainnya, ketika ada orang yang menghina perguruan – perguruan itu berarti dia telah menghina saudaraku dan menghina jurus – jurus yang di ajarkan oleh guru kami dulu dan aku sangat tidak terima tentang hal itu”.
“kalian mungkin bertanya kenapa terkadang jurus – jurus kami ada yang sama dan ada pula yang berbeda, hal itu dikarenakan diantara kami para pendiri perguruan telah saling terpisah jauh untuk mengembangkan, berinovasi dan merangkai jurus – jurus atau gerakan beladiri kami agar lebih sempurna menurut diri kami masing - masing , kemudian rangkaian jurus baru itu kami ajarkan kepada murid – murid kami dan kami mendirikan perguruan dengan nama yang berbeda – beda.
Dan dulu saya juga pernah menjelajahi dari Sabang sampai Merauke untuk berguru kepada Sembilan guru pencak silat yang berbeda pada masa mudaku, demikian juga dengan Mbah Satrio guru kalian yang pernah berguru kepada beberapa guru pencak silat yang berbeda pula dengan yang pernah saya pelajari, maka dari itu tidak heran jika terkadang gerakan jurus kedua perguruan ini ada yang sama dan terkadang pula berbeda, tapi sekali lagi kembali pada jiwa kesatria yang kita miliki bahwa kita sebagai pendekar harus bisa menghargai perbedaan, dan selalu mengutamakan persatuan, serta jangan puas berguru pada satu perguruan saja, dan sempurnakanlah ilmu kalian dengan menyerap ilmu dari beberapa perguruan hingga kalian bisa menjadi pendekar sejati yang berjiwa kesatria”.
Ingat persaudaraan itu jangan di kotak-kotak, maksudnya jangan pernah beranggapan bahwa saudaramu hanyalah sebanyak orang di dalam perguruanmu saja, itu sama artinya kalian berfikiran kerdil dan berhati sempit.
Ketahuilah semua manusia di jagad raya ini adalah saudara kita juga.
Orang yang berjiwa kesatria tidak akan pernah melibatkan perguruannya untuk menyelesaikan urusan – urusan pribadinya, jika ada orang dari perguruanku yang melakukan kesalahan di tengah masyarakat dan ketika kami tegur tidak juga memperbaiki kesalahannya maka aku sediri yang akan menghajarnya dan mengeluarkannya dari perguruanku.
Sebagai seorang guru aku harus bertanggung jawab dunia dan akhirat atas ilmu-ilmu beladiri yang pernah aku ajarkan.
Selama aku masih hidup Aku akan menyelesaikan dengan jalan terbaik tanpa kekerasan jika ada gesekan antar perguruan yang melibatkan perguruanku.
Dan pesanku selama aku masih hidup maupun jika aku sudah mati nanti “jangan sampai anggota perguruanku memusuhi perguruan lain, karena hal itu mengotori dan menurunkan citra perguruan Hati Sejati, ingatlah ini baik – baik murid – muridku.
Demikianlah sekilas sambutan dari eyang surodipo pada pertemuan itu, yang mampu mendamaikan perseteruan antar perguruan, dan memacu para pendekar untuk semangat menimba ilmu pencak silat sebanyak – banyaknya dan mengengembangkanya sebagai warisan asli budaya bangsa Indonesia serta bisa menjadikan para pendekar lebih menghargai perbedaan antar perguruan yang ada.
lalu dilanjutkan sambutan dari Mbah Satrio yang isinya demikian.
pencak silat adalah seni beladiri dan yang namanya seni itu kreativitas yang tidak bisa di bendung atau di cegah perkembangannya.
ibarat seni tari, anda semua tidak bisa membatasi perkembangan seni tari, misalnya se Nusantara ini hanya cukup lima buah tarian saja, tidak boleh ditambah atau dikembangkan, tidak boleh membuat seni tari baru, maka saya kira itu suatu hal yang mustahil.
saya mempelajari sekitar 100 jurus dari 9 orang guru saya dari dalam negeri maupun luar negeri, dan dari sekian banyak jurus saya ambil 25 jurus dari guru saya yang berbeda-beda tadi dan saya ajarkan kepada murid-murid saya dengan Nama perguruan Ekor Monyet. karena menurut saya inilah jurus-jurus yang terbaik menurut saya dan paling efektif untuk digunakan.
dan saudara saya Eyang Surodipo juga punya ratusan jurus, tapi yang diajarkan pada muridnya cuma 15 jurus saja dan diberi nama perguruan Hati Sejati, jadi intinya sama saja toh.
begitulah sambutan beliau, selanjutnya kami dijmu makan-mkan di perguruan Ekor Monyet lalu kemudian kami saling berjabat tangan dan berpamitan untuk pulang.
Eyang bertanya padanya “apa yang terjadi”, jawab R. Lukman dengan suara yang terputus – putus “ perguruan kami diserang oleh perguruan Ekor Monyet”, setelah mengucapkan kalimat itu R. Lukman pingsan tak sadarkan diri. Kami membopong tubuh R. Lukman ke dalam rumah padepokan Eyang Surodipo untuk mendapat perawatan dari guru kami.
Tiga hari berlau dan luka – luka R. Lukman sudah kembali pulih seperti semula , memang Eyang Surodipo tidak hanya terkenal jago beladiri tapi beliau juga mahir dalam ilmu pengobatan tradisional, saat sudah sembuh dan di hadapan kami R.Lukman mulai bercerita kepada Eyang Surodipo “sebelumnya maafkan saya Eyang, sejak lima belas tahun silam saya meninggalkan perguruan ini merantau ke Pulau Borneo dan saya mengembangkan ilmu dari Eyang dengan mendirikan perguruan Hati Sejati di sana, dan Alhamdulillah sampai saat ini sudah ratusan murid yang telah lulus sampai tingkat terakhir, tapi entah mengapa dalam lima tahun terakhir ini perguruan Hati Sejati terlibat permusuhan dengan perguruan pencak silat Ekor Monyet, alasan mereka memusuhi perguruan kita adalah saya dituduh mencuri gerakan jurus – jurus mereka, padahal selama ini saya tidak pernah menambah atau mengurangi jurus – jurus beladiri yang Eyang ajarkan pada saya, begitupun murid – murid saya Eyang, mereka tidak akan mungkin menambah atau mengurangi gerakan jurus-jurus yang ku ajarkan.
Murid – muridku menyangka bahwa Perguruan ekor monyetlah yang telah mencuri gerakan jurus – jurus kami, akhirnya dua perguruan ini saling serang, saling hantam dan saling dendam. Sudah puluhan korban yang mati dari kedua perguruan akibat dendam kesumat yang berkepanjangan ini”.
“Siapa nama ketua perguruan Ekor Monyet ?” sahut Eyang Surodipo “Mbah Satrio” jawab R. Lukman. “Baiklah sekarang antarkan aku ke Borneo dan pertemukan aku dengan Mbah Satrio itu ” pinta Eyang Surodipo “baik Eyang besok kita berangkat” ajak R. Lukman, dan sayapun di ikut sertakan dalam perjalanan ini.
Singkat ceritanya sampailah kami di Pulau Borneo dan bertandang ke Padepokan Ekor Monyet, tapi baru beberapa langkah kami memasuki pelataran padepokan tiba – tiba delapan pendekar dengan tubuh kekar berotot dan berwajah garang menghentikan langkah kami “ kalian dari perguruan Hati Sejati, bukan? mau apa kalian datang kemari ?” “kami ingin bertemu Mbah Satrio” jawab Eyang Surodipo dengan tenang, “jangan mimpi kalian, langkahi dulu mayat kami” tiba – tiba saja salah satu pendekar Ekor Monyet mulai menyerang dengan jurus – jurus beladiri yang lincah dan gesit, sementara itu Eyang Surodipo hanya menghindar dan menangkis serangannya tanpa membalas pukulannya “sabar anak muda, kami kesini dengan tujuan baik, kami hanya ingin bertemu dengan guru kalian” kata Eyang Surodipo.
“aah… jangan banyak alasan, kami tahu tujuan kalian kesini hanya ingin balas dendam pada kami, bukan? Ayo kawan – kawan serang mereka…!”. Pertarungan hebatpun tak terelakkan.
“kamu disini saja menjaga Lukman yang baru saja sembuh dari luka dalam, biar aku yang menghadapi mereka” kata Eyang Surodipo kepadaku.
Perkelahian sengit yang diwarnai rangkaian jurus – jurus yang mematikan terjadi di halaman padepokan ekor monyet, Eyang Surodipo dikeroyok oleh delapan pendekar muda, meskipun Eyang Surodipo sudah tua namun gerakan beladirinya masih lincah dan sangat luar biasa, dalam hitungan beberapa menit saja kedelapan pendekar itu jatuh terjengkang.
Mendengar kegaduhan di halaman, Mbah Satrio-pun keluar dari padepokannya.
Mbah Satrio beberapa kali salto atau jungkir balik di udara dan mendarat tepat di hadapan Eyang Surodipo, “siapa kalian dan kenapa kalian bikin onar di padepokanku?” kata Mbah Satrio dengan suaranya yang lantang.
“Satrio…Satrio..! kamu lupa sama aku, aku adalah Suro” kata Eyang Surodipo memulai pembicaraannya, “Suuro..!” Mbah Satrio coba mengingat wajah tua itu “iya… Surodipo saudara seperguruanmu dulu ketika berguru sama Empu Raga Sukma”.
“ooo iya…iya… iya… aku ingat, tentu saja aku ingat, Cuma aku tadi tidak menyangka kalau itu kamu Suro, karena wajahmu sudah banyak berubah, sekarang kau tampak lebih tua dengan gigi ompong dan rambut yang memutih serta kulit yang sudah keriput, terus terang aku sulit mengenalimu saudaraku, selamat datang di padepokanku ” jawab Mbah Satrio.
Murid – muridku ini sahabat lamaku Surodipo ayo cium tangan kalian sama dia “Lanjut Mbah Satrio”.
“sama aku juga tadinya tidak mengira kalau orang tua yang berdiri dihadapanku ini adalah orang yang pernah menjadi saudara seperguruanku dulu, untungnya aku masih mengenalimu dari kalung giok naga pemberian Empu Raga Sukma yang masih kau kenakan itu” kata Eyang Surodipo.
“tujuanku kesini adalah ingin meluruskan kesalah pahaman yang selama ini terjadi antara perguruan Ekor Monyet milikmu dengan perguruanku Hati Sejati, dan hal seperti ini mungkin suatu saat bisa juga terjadi dengan perguruan – perguruan pencak silat yang lain”, kata Eyang Surodipo “ untuk itu besok aku ingin menjelaskan semua kasalah pahaman ini dihadapan murid – muridmu dan murid – muridku” Eyang Surodipo melanjutkan perkataannya.
“Baiklah kalau begitu aku setuju saudaraku” sahut Mbah Satrio.
Keesokan harinya kedua pihak perguruan sudah berkumpul di sebuah lapangan luas di samping padepokan Ekor Monyet dan Eyang Surodipo mulai menjelaskan duduk perkaranya.
“aku (Eyang Surodipo) dan Mbah Satrio adalah saudara seperguruan, kami pernah berguru pada guru pencak silat yang sama yaitu Empu Raga Sukma, dan kami memiliki jurus – jurus yang sama pula dan bukan hanya Mbah Satrio saja saudara seperguruanku, aku punya beberapa saudara seperguruan yang saat ini juga mendirikan perguruan beladiri, diantaranya Eyang Kumbang pendiri perguruan Macan Lapar, Mbah Bejo pendiri perguruan Gajah Terbang dan masih banyak lagi yang lainnya, ketika ada orang yang menghina perguruan – perguruan itu berarti dia telah menghina saudaraku dan menghina jurus – jurus yang di ajarkan oleh guru kami dulu dan aku sangat tidak terima tentang hal itu”.
“kalian mungkin bertanya kenapa terkadang jurus – jurus kami ada yang sama dan ada pula yang berbeda, hal itu dikarenakan diantara kami para pendiri perguruan telah saling terpisah jauh untuk mengembangkan, berinovasi dan merangkai jurus – jurus atau gerakan beladiri kami agar lebih sempurna menurut diri kami masing - masing , kemudian rangkaian jurus baru itu kami ajarkan kepada murid – murid kami dan kami mendirikan perguruan dengan nama yang berbeda – beda.
Dan dulu saya juga pernah menjelajahi dari Sabang sampai Merauke untuk berguru kepada Sembilan guru pencak silat yang berbeda pada masa mudaku, demikian juga dengan Mbah Satrio guru kalian yang pernah berguru kepada beberapa guru pencak silat yang berbeda pula dengan yang pernah saya pelajari, maka dari itu tidak heran jika terkadang gerakan jurus kedua perguruan ini ada yang sama dan terkadang pula berbeda, tapi sekali lagi kembali pada jiwa kesatria yang kita miliki bahwa kita sebagai pendekar harus bisa menghargai perbedaan, dan selalu mengutamakan persatuan, serta jangan puas berguru pada satu perguruan saja, dan sempurnakanlah ilmu kalian dengan menyerap ilmu dari beberapa perguruan hingga kalian bisa menjadi pendekar sejati yang berjiwa kesatria”.
Ingat persaudaraan itu jangan di kotak-kotak, maksudnya jangan pernah beranggapan bahwa saudaramu hanyalah sebanyak orang di dalam perguruanmu saja, itu sama artinya kalian berfikiran kerdil dan berhati sempit.
Ketahuilah semua manusia di jagad raya ini adalah saudara kita juga.
Orang yang berjiwa kesatria tidak akan pernah melibatkan perguruannya untuk menyelesaikan urusan – urusan pribadinya, jika ada orang dari perguruanku yang melakukan kesalahan di tengah masyarakat dan ketika kami tegur tidak juga memperbaiki kesalahannya maka aku sediri yang akan menghajarnya dan mengeluarkannya dari perguruanku.
Sebagai seorang guru aku harus bertanggung jawab dunia dan akhirat atas ilmu-ilmu beladiri yang pernah aku ajarkan.
Selama aku masih hidup Aku akan menyelesaikan dengan jalan terbaik tanpa kekerasan jika ada gesekan antar perguruan yang melibatkan perguruanku.
Dan pesanku selama aku masih hidup maupun jika aku sudah mati nanti “jangan sampai anggota perguruanku memusuhi perguruan lain, karena hal itu mengotori dan menurunkan citra perguruan Hati Sejati, ingatlah ini baik – baik murid – muridku.
Demikianlah sekilas sambutan dari eyang surodipo pada pertemuan itu, yang mampu mendamaikan perseteruan antar perguruan, dan memacu para pendekar untuk semangat menimba ilmu pencak silat sebanyak – banyaknya dan mengengembangkanya sebagai warisan asli budaya bangsa Indonesia serta bisa menjadikan para pendekar lebih menghargai perbedaan antar perguruan yang ada.
lalu dilanjutkan sambutan dari Mbah Satrio yang isinya demikian.
pencak silat adalah seni beladiri dan yang namanya seni itu kreativitas yang tidak bisa di bendung atau di cegah perkembangannya.
ibarat seni tari, anda semua tidak bisa membatasi perkembangan seni tari, misalnya se Nusantara ini hanya cukup lima buah tarian saja, tidak boleh ditambah atau dikembangkan, tidak boleh membuat seni tari baru, maka saya kira itu suatu hal yang mustahil.
saya mempelajari sekitar 100 jurus dari 9 orang guru saya dari dalam negeri maupun luar negeri, dan dari sekian banyak jurus saya ambil 25 jurus dari guru saya yang berbeda-beda tadi dan saya ajarkan kepada murid-murid saya dengan Nama perguruan Ekor Monyet. karena menurut saya inilah jurus-jurus yang terbaik menurut saya dan paling efektif untuk digunakan.
dan saudara saya Eyang Surodipo juga punya ratusan jurus, tapi yang diajarkan pada muridnya cuma 15 jurus saja dan diberi nama perguruan Hati Sejati, jadi intinya sama saja toh.
begitulah sambutan beliau, selanjutnya kami dijmu makan-mkan di perguruan Ekor Monyet lalu kemudian kami saling berjabat tangan dan berpamitan untuk pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar